Guntur Punya Cerita #1

Kerudungnya sudah basah. Basah oleh keringat. Keringat itu juga yang membuat rambut-rambut tipis di pelipisnya menempel di dahi. Ujung kerudung berwarna merah muda yang hanya disampirkan di kepalanya itu berayun-ayun mengikuti langkahnya. Perempuan itu mendongak. Masih sekitar lima ratus meter lagi menuju puncak. Rasa lelah sudah hampir menelannya, tapi ia terus melangkah. Selain karena hari yang sudah semakin siang, ia juga tak lagi sabar untuk duduk di atas batu di puncak. Dari jarak yang cukup jauh, ia memperkirakan batu itu setinggi tubuhnya. Di sana. Ia ingin melepas lelah sambil memandang ke kejauhan. Ia ingin menyaksikan pemandangan dengan lebih tenang. Perempuan itu begitu kagum akan pucuk-pucuk pepohonan yang berwarna kuning keemasan karena diciprati cahaya matahari. Dedaunan itu memantulkan sinarnya dengan apik. Ia juga ingin melihat lebih luas pertambangan pasir di kaki gunung yang botak. Jauh di bawah sana, terlihat jalur-jalur seperti pematang sawah yang kering saat dilihat dari udara. Jalur-jalur itu berwarna cokelat kopi dan meliuk-liuk. Tak ada yang akan menyangka bahwa itu adalah jalan setapak nan gersang tempat truk-truk besar membawa pasir ke Kota Garut. Perempuan itu semakin tidak sabar.

“Ra!” Perempuan itu menolah. Masih ada kabut di sekitar tubuh orang yang memanggilnya itu. Sosok itu juga terengah-engah. “Tunggu.” Perempuan itu berhenti melangkah. Ia tersenyum sambil menyampirkan kedua ujung kerudungnya ke bahu kanan dan kiri. Ia menyeka keringat yang alirannya sudah sampai di pipi. Pandangannya mengikuti jalan setapak yang telah dilaluinya. Ia agak terkejut saat menyadari bahwa permukaan tanah di hampir puncak gunung itu sudah sangat curam. Kedua tangannya rasanya ingin menggapai sesuatu yang membuatnya tidak akan jatuh terperosok. Perasaan ketakutan itu ditambah oleh kerikil-kerikil legam yang diinjaknya. Tidak padatnya pasir yang biasa disapa regosol itu membuatnya membayangkan bahwa ia dapat dengan mudah tergelincir ke bawah. Perempuan itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya lewat mulut. Hal itu membuatnya cukup tenang.

Laki-laki yang menghampiri si perempuan tiba-tiba tertawa sambil menggelengkan kepala. “Susah berhenti ya kalau sudah lihat puncak?” Si perempuan hanya menjawabnya dengan senyum. Lagi-lagi ia mengusap keringat di dahi sambil membenahi letak kerudung. Ia mengulurkan tangan pada si laki-laki. Ditariknya tangan itu. “Heiii!” Protes si laki-laki. “Lihat itu.” Ujar si perempuan saat si laki-laki sudah berada di sampingnya. Tubuh mereka merapat. “Hutan emas.” Ujar si perempuan menanggapi pucuk-pucuk pepohonan yang memantulkan cahaya matahari pagi. “Mataharinya bagus. Masih bayi. Baru terlahir dari langit.” Lanjutnya. Kedua anak manusia itu tersenyum sambil berusaha saling meraih telapak tangan. Keduanya lalu saling menggenggam.

Keduanya diam sejenak. Si laki-laki menarik tangan si perempuan. Agar tubuh mendekat. Si laki-laki berbungkuk dan mencium bibir si perempuan. Gerakannya cepat. “Kamu! Nanti dilihat yang lain!” Si perempuan mengingatkan sambil tersenyum. Tersipu. “Mereka masih jauh. Lagipula kabut…” Laki-laki itu berujar setelah sebelumnya menengok ke bawah dan menyadari bahwa rombongan mereka masih tak terlihat. Dia kembali membungkuk dan mencium bibir si perempuan. Kali ini dikulumnya bibir bawah perempuan itu. Si perempuan membalasnya. Kerudungnya jatuh ke pundak. Ia menyelipkan jemarinya ke rambut di sekitar tengkuk si laki-laki yang basah oleh keringat. Si laki-laki menaruh kedua tangannya di pinggul si perempuan yang terasa empuk karena jaket yang tebal. Perempuan itu lalu melirik ke arah kabut yang melindungi mereka. Menipis. Ia menjauhkan bibirnya dari bibir si laki-laki. “Kabutnya menipis.” Si perempuan membenahi letak kerudungnya. Mereka bergeming. Lalu tertawa bersama. “Lanjut yuk. Sedikit lagi.” Si perempuan menunjuk ke arah batu yang terlihat kokoh di puncak. Tiba-tiba telepon genggam berdering. Sebelum merespon, keduanya malah terlebih dulu mendengarkan. Nada digital yang beberapa hari tak terdengar itu begitu kontras dengan suasana saat itu. Suara gesekan ilalang yang sebagian masih basah oleh embun pagi, juga suara gesekan pasir regosol dan sepatu mereka yang terus berusaha mempertahankan pijakan.

“Halo…” Si laki-laki mengangkat telepon yang masuk. “Oke. Sip.” Dia menutup telepon dan menaruhnya kembali di saku dalam jaket. “Kamu duluan ya. Aku harus balik lagi, susul mereka. Ada yang kelelahan.” Si perempuan hanya mengangguk. Ia segera berbalik badan dan melanjutkan langkahnya dengan semangat. Sampai di puncak.

***

“Kesampaian juga ya, Ra, ke sini. Sampai puncak lagi!” Kata seorang teman sambil menjabat tanganku erat-erat. “Yeah! Selamat!” Ujarku hampir berteriak. Kami berenam berfoto dengan latar belakang kawah yang menganga lebar. Aku segera melihat hasilnya di layar kamera digital. Dinding-dinding kawah yang berbatu itu sudah ditumbuhi tumbuhan yang seluruhnya berwarna hijau. Benar-benar menjadikan kami terlihat segar dalam foto.

“Sayang dia nggak bisa ikut ya. Kalian memang sempat berkeinginan ke sini berdua kan?” Aku menoleh. Temanku yang tadi. “Siapa?” Dia hanya menatap mataku lekat-lekat. Aku langsung mengerti siapa orang yang dia maksud. Mataku dengan reflek mulai basah. Aku mengerjap-ngerjapkannya agar air mata tidak bisa meluncur ke wajahku dengan mudahnya. Percuma. Memori tentang laki-laki yang hampir dua tahun seolah menjadi bagian tubuhku menyergap. Juga memori tentang angan-angan kita untuk mencapai semua puncak gunung di Indonesia. Begitu juga tentang kematiannya beberapa waktu lalu; sebelum aku mencapai puncak ini. Sendirian. Maksudku, tanpa dia. “Hei… Jangan nangis. Sini.” Dia berdiri tepat di samping. Lengannya dengan santai merangkul pundakku. Dia mulai mengusap-usap rambutku. Usapannya membuat rambutku berantakan. Tapi aku mulai merasa nyaman dan hilang ketegangan. Tentu saja tidak begitu dengan rasa sedih. Itu tidak hilang. Tidak akan pernah hilang, sepertinya.

“Kepergiannya buat saya dan teman-teman yang lain juga sulit diterima. Saya juga bisa ngerti…” Aku tidak mau menatapnya. Malu. Aku jarang menangis di hadapan teman-teman. “Saya kira waktu kalian untuk bersama masih panjang. Ternyata Tuhan terlalu sayang dia, Ra. Tapi saya yakin dia tahu kamu sudah sampai sini. Dia tahu kamu orang pertama yang paling bersemangat dan yang pertama mencapai puncak. Dia pasti ikut bangga…” Lanjut temanku itu. Bersamaan dengan rangkulan tangannya yang melonggar padaku, isakanku pun semakin pelan. Aku berulangkali menarik nafas dan memaksakan diri untuk tersenyum. Aku memandang berkeliling. Teman-teman yang lain melirik ke arahku. Mungkin mereka kira aku terlalu berlebihan, baru mencapai puncak 2525 meter di atas permukaan laut saja, sudah terharu. Menangis sesenggukan bahkan.

Aku menatap mata temanku dengan penuh keyakinan, “Aku tahu. Dia memang tahu kok. Dia ada di sini. Kami berciuman tadi. Sekitar lima ratus meter menuju puncak…” Meski sudah terlihat berusaha menyembunyikan, kerutan keningnya tetap terlihat olehku. Aku tak menanggapi kerutan itu. Dengan segera aku memalingkan wajah. Tatapanku menerawang menuju pucuk-pucuk pepohonan yang masih berwarna kuning keemasan. Kali ini, matahari terlihat sudah mulai beranjak dewasa.

Nalar, 15 Januari 2012

Dia (2)

“Dia Aini. Aini berarti mata. Tante menamakannya agar dia menjadi orang yang dapat menggunakan matanya dengan baik. Mata di wajahnya, dan mata hatinya. Dia juga bukan sembarang kata. Dia diambil dari kata ganti orang ketiga. Agar Dia banyak dibicarakan orang. Tentu saja sebagai orang yang punya andil besar…” Wanita separuh baya berjilbab hitam itu terisak. Tubuhnya yang agak gemuk kadangkala terguncang-guncang karena isakannya.

“Dia begitu karena teman-temannya; karena pergaulan!” Tiba-tiba ia berseru. “Dua tahun penuh tante sudah berkali-kali mengingatkan temannya itu agar tidak bergaul dengan Dia. Berduaan sampai larut malam. Setan memang itu anak!”

“Tante, jangan begitu…” Aku mengusap-usap pundaknya. Dia memelukku erat. Air matanya tumpah di bahuku. Kemeja hitamku basah sudah karena keringat dan air mata banyak orang.

“Kematian itu Tuhan yang tentukan…” Lanjutku.

“Bukan kematiannya! Tapi keadaan saat Dia mati!” Tanteku berseru lagi. Orang-orang yang datang melayat ke rumah sudah semakin terlihat tidak nyaman dengan itu. Satu persatu mereka pergi. Beberapa yang entah kenapa menghindari tanteku hanya melambaikan tangan dari kejauhan, menganggukan kepala, dan tersenyum miris.

“Dia itu perempuan, Fa. Sudah seharusnya, pasangannya adalah laki-laki, bukan perempuan lagi! Menjadi lesbian itu terkutuk, kamu tau?!”

“Ssstt… Tante!” Meski itu adalah pernyataan yang sudah berulangkali terlontar dari mulutnya, tetap saja aku kaget dan merasa risih.

“Apa, Fa?! Kamu mau bilang tante nggak boleh bicara begitu?! Pamali. Begitu?” Aku  diam. Tanteku jelas sedang marah, dan aku sebaiknya diam. Lama ia terisak di pundakku. Ketika lelah, ia melepaskan pelukannya padaku. Sambil berjalan menuju kamar tidur, tangannya meraba tembok. Lemas mungkin. Aku membiarkannya. Masih banyak yang harus dikerjakan. Tamu mulai sepi, hanya beberapa tetangga yang bekerja di dapur, membantu menyiapkan makanan dan minuman untuk para tamu. Aku pergi ke dapur. Meminta mereka untuk pulang saja. Toh keluarga besar sudah berdatangan.

“Udah turun menurun kayaknya keluarga ini mah ya. Nenek dan mamanya hamil di luar nikah. Eh, sekarang si Dia. Anak satu-satunya padahal… Kutukan mungkin.”

“Ah itu sih gimana ngurusnya aja, bukan soal kutukan. Lesbian sama narkoba itu pengaruh pergaulan. Anak cuma satu tapi nggak bener ngurusnya. Amit-amit.” Mereka memang berbicara sambil berbisik, tapi aku berada di jarak yang cukup dekat dengan pintu dapur. Semuanya jelas terdengar. Mataku berkaca-kaca. Lagi. Ingatan saat aku menemukan mayat Dia dan temannya terbayang lagi. Jarum-jarum suntik. Dua tubuh perempuan terkapar. Telanjang tanpa sehelai benang pun. Ah, Tuhan…

“Maaf ibu-ibu…” Aku mengusap kedua mataku dengan punggung tangan.

“Eh, Neng Ifa…” Salah satu dari mereka terlonjak kaget. Mulutnya menganga. Ingin rasanya aku menyumpalnya dengan kemasan air mineral yang bertumpuk di meja dapur.

“Kalau mau pulang, silahkan aja. Keluarga sudah datang semua. Terima kasih ya, ibu-ibu.” Tak ada yang menjawab. Semuanya hanya bangkit dari duduk dan pergi. Pintu dapur juga ditutup dengan buru-buru. Mungkin mereka takut kutukan dari keluarga ini menguntit mereka.

Aku berusaha tetap berdiri. Engsel-engsel tulang di tubuhku seperti tidak lagi saling memangku. Tenagaku lenyap. Karena kehilangan, dan karena melayani celotehan duka dari tanteku. Sungguh, aku pun kehilangan. Kecewa. Sakit hati. Bingung. Dalam keadaan seperti ini, aku ragu dapat menemukan orang yang mengerti kehilanganku: perempuan yang mati bersama Dia, adalah juga pacarku.

Dia #1

23 Januari 2010

Beberapa hal mengejutkan saya belakangan ini. Hari Jum’at (Kemarin, 22 Januari), saya sedang menikmati hujan dan kemacetan di angkot. Handphone berbunyi. Di layarnya, ada nomor telepon sekolah. Saya angkat. Ternyata Dia. Dia bilang, Dia lupa mengembalikan buku kumpulan cerita saya. Dia mau datang ke rumah sore itu. Saya sempat meminta Dia untuk kembalikan buku itu di sekolah saja. Senin. Tapi Dia bilang, Dia mau sekalian berkunjung ke rumah Mamanya yang dekat dengan rumah saya.

Jalanan macet karena hujan. Saya baru sampai di rumah sekitar pukul lima sore. Berselang tak lama dari itu, Dia datang dengan air hujan yang sudah terserap di blusnya. Kasihan. Saya persilahkan Dia untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Kami berbincang banyak. Dia bilang, Dia tidak punya teman berbagi yang asik, maksudnya, dari banyak hal yang Dia tahu dan tertariki, hanya sedikit yang bisa Dia obrolkan dengan teman sekelasnya. At least, saya pikir Dia anak yang tak sekedar pintar, tapi juga cerdas. Dia banyak punya argumen dan hampir semua yang saya dengar punya dasar yang kuat.

Dia banyak berkomentar tentang kumpulan cerita pendek saya. Termasuk dan terutama cerpen Rona dan surat fiktif untuk Badil itu. Sudah diduga, di pertemuan dan percakapan pertama kami, Dia bisa menebak dengan tepat siapa tokoh Badil di dunia nyata. Saya percaya Dia. Dia tidak akan memberitahu siapapun. Untuk tokoh di cerpen Rona itu, ternyata Dia menyadari banyak kesamaan antara dirinya dan tokoh dalam cerpen. Tapi tetap saja, saya tidak beritahu bahwa tokoh itu adalah Dia. Terlalu berisiko.

Seusai shalat Maghrib, kami pindah ke ruang tengah. Kami kedinginan. Untung karpet yang kami duduki cukup membuat hangat. Saya buatkan mi goreng instan untuknya. Dia makan dengan lahap. Saya senang melihatnya.

Ibu dan Ayah datang sekitar pukul Sembilan atau setengah sepuluh malam. Obrolan saya dan Dia masih berlanjut hingga larut. Penuh tawa. Menyenangkan rasanya berbagi dengan orang yang cukup cerdas, meskipun kadang, sikap “sok”-nya suka timbul. Kami punya banyak topik dalam pembicaraan: politik, ekonomi negara, keluarga, karya, masa-masa SMP—yang sangat Dia banggakan—, teman-teman di sekolah kami sekarang, dan banyak lagi.

Dia pulang tepat pukul sebelas. Larut sekali, tapi menyenangkan.

Kini, saat pembicaraan kami berakhir, saya baru menyadari bahwa orang yang tadi malam berbincang dan duduk di hadapan saya adalah orang yang sempat tertambat terus menerus di pikiran saya. Betapa beruntungnya saya.

26 Januari 2010

Tadi Dia datang lagi ke rumah. Kami berbincang-bincang lagi di ruang tengah. Di atas karpet yang sama dengan beberapa malam lalu. Kami menggambar a la anak taman kanak-kanak bersama. Lagi-lagi Dia pulang tepat pukul sebelas malam.

Kini, mata saya luar biasa berat. Tapi mengesankan: ada orang yang bisa saya ajak berbagi. Langka.

27 Januari 2010

Sangat berbeda rasanya melewati malam bersama Dia dan tanpa Dia. Sekarang sepi. Saya hanya melewatkan malam dengan udara dingin dan kaki lembab sisa bermain banjir di sekolah sore tadi. Tak sabar jadinya menanti hari Jum’at. Dia berjanji untuk menghabiskan Jum’at yang akan datang dengan saya. Menjadikannya hari khusus untuk saya. Tapi apa masih mau Dia datang ke sini? Entahlah. Yang pasti, saya benar-benar nyaman dan suka ada di dekat Dia. Di pertemuan terakhir kami, Dia sempat menuliskan namanya sendiri di tangan saya. Juga ada banyak hal lain yang membuat saya seolah melepuh.