Kerudungnya sudah basah. Basah oleh keringat. Keringat itu juga yang membuat rambut-rambut tipis di pelipisnya menempel di dahi. Ujung kerudung berwarna merah muda yang hanya disampirkan di kepalanya itu berayun-ayun mengikuti langkahnya. Perempuan itu mendongak. Masih sekitar lima ratus meter lagi menuju puncak. Rasa lelah sudah hampir menelannya, tapi ia terus melangkah. Selain karena hari yang sudah semakin siang, ia juga tak lagi sabar untuk duduk di atas batu di puncak. Dari jarak yang cukup jauh, ia memperkirakan batu itu setinggi tubuhnya. Di sana. Ia ingin melepas lelah sambil memandang ke kejauhan. Ia ingin menyaksikan pemandangan dengan lebih tenang. Perempuan itu begitu kagum akan pucuk-pucuk pepohonan yang berwarna kuning keemasan karena diciprati cahaya matahari. Dedaunan itu memantulkan sinarnya dengan apik. Ia juga ingin melihat lebih luas pertambangan pasir di kaki gunung yang botak. Jauh di bawah sana, terlihat jalur-jalur seperti pematang sawah yang kering saat dilihat dari udara. Jalur-jalur itu berwarna cokelat kopi dan meliuk-liuk. Tak ada yang akan menyangka bahwa itu adalah jalan setapak nan gersang tempat truk-truk besar membawa pasir ke Kota Garut. Perempuan itu semakin tidak sabar.
“Ra!” Perempuan itu menolah. Masih ada kabut di sekitar tubuh orang yang memanggilnya itu. Sosok itu juga terengah-engah. “Tunggu.” Perempuan itu berhenti melangkah. Ia tersenyum sambil menyampirkan kedua ujung kerudungnya ke bahu kanan dan kiri. Ia menyeka keringat yang alirannya sudah sampai di pipi. Pandangannya mengikuti jalan setapak yang telah dilaluinya. Ia agak terkejut saat menyadari bahwa permukaan tanah di hampir puncak gunung itu sudah sangat curam. Kedua tangannya rasanya ingin menggapai sesuatu yang membuatnya tidak akan jatuh terperosok. Perasaan ketakutan itu ditambah oleh kerikil-kerikil legam yang diinjaknya. Tidak padatnya pasir yang biasa disapa regosol itu membuatnya membayangkan bahwa ia dapat dengan mudah tergelincir ke bawah. Perempuan itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya lewat mulut. Hal itu membuatnya cukup tenang.
Laki-laki yang menghampiri si perempuan tiba-tiba tertawa sambil menggelengkan kepala. “Susah berhenti ya kalau sudah lihat puncak?” Si perempuan hanya menjawabnya dengan senyum. Lagi-lagi ia mengusap keringat di dahi sambil membenahi letak kerudung. Ia mengulurkan tangan pada si laki-laki. Ditariknya tangan itu. “Heiii!” Protes si laki-laki. “Lihat itu.” Ujar si perempuan saat si laki-laki sudah berada di sampingnya. Tubuh mereka merapat. “Hutan emas.” Ujar si perempuan menanggapi pucuk-pucuk pepohonan yang memantulkan cahaya matahari pagi. “Mataharinya bagus. Masih bayi. Baru terlahir dari langit.” Lanjutnya. Kedua anak manusia itu tersenyum sambil berusaha saling meraih telapak tangan. Keduanya lalu saling menggenggam.
Keduanya diam sejenak. Si laki-laki menarik tangan si perempuan. Agar tubuh mendekat. Si laki-laki berbungkuk dan mencium bibir si perempuan. Gerakannya cepat. “Kamu! Nanti dilihat yang lain!” Si perempuan mengingatkan sambil tersenyum. Tersipu. “Mereka masih jauh. Lagipula kabut…” Laki-laki itu berujar setelah sebelumnya menengok ke bawah dan menyadari bahwa rombongan mereka masih tak terlihat. Dia kembali membungkuk dan mencium bibir si perempuan. Kali ini dikulumnya bibir bawah perempuan itu. Si perempuan membalasnya. Kerudungnya jatuh ke pundak. Ia menyelipkan jemarinya ke rambut di sekitar tengkuk si laki-laki yang basah oleh keringat. Si laki-laki menaruh kedua tangannya di pinggul si perempuan yang terasa empuk karena jaket yang tebal. Perempuan itu lalu melirik ke arah kabut yang melindungi mereka. Menipis. Ia menjauhkan bibirnya dari bibir si laki-laki. “Kabutnya menipis.” Si perempuan membenahi letak kerudungnya. Mereka bergeming. Lalu tertawa bersama. “Lanjut yuk. Sedikit lagi.” Si perempuan menunjuk ke arah batu yang terlihat kokoh di puncak. Tiba-tiba telepon genggam berdering. Sebelum merespon, keduanya malah terlebih dulu mendengarkan. Nada digital yang beberapa hari tak terdengar itu begitu kontras dengan suasana saat itu. Suara gesekan ilalang yang sebagian masih basah oleh embun pagi, juga suara gesekan pasir regosol dan sepatu mereka yang terus berusaha mempertahankan pijakan.
“Halo…” Si laki-laki mengangkat telepon yang masuk. “Oke. Sip.” Dia menutup telepon dan menaruhnya kembali di saku dalam jaket. “Kamu duluan ya. Aku harus balik lagi, susul mereka. Ada yang kelelahan.” Si perempuan hanya mengangguk. Ia segera berbalik badan dan melanjutkan langkahnya dengan semangat. Sampai di puncak.
***
“Kesampaian juga ya, Ra, ke sini. Sampai puncak lagi!” Kata seorang teman sambil menjabat tanganku erat-erat. “Yeah! Selamat!” Ujarku hampir berteriak. Kami berenam berfoto dengan latar belakang kawah yang menganga lebar. Aku segera melihat hasilnya di layar kamera digital. Dinding-dinding kawah yang berbatu itu sudah ditumbuhi tumbuhan yang seluruhnya berwarna hijau. Benar-benar menjadikan kami terlihat segar dalam foto.
“Sayang dia nggak bisa ikut ya. Kalian memang sempat berkeinginan ke sini berdua kan?” Aku menoleh. Temanku yang tadi. “Siapa?” Dia hanya menatap mataku lekat-lekat. Aku langsung mengerti siapa orang yang dia maksud. Mataku dengan reflek mulai basah. Aku mengerjap-ngerjapkannya agar air mata tidak bisa meluncur ke wajahku dengan mudahnya. Percuma. Memori tentang laki-laki yang hampir dua tahun seolah menjadi bagian tubuhku menyergap. Juga memori tentang angan-angan kita untuk mencapai semua puncak gunung di Indonesia. Begitu juga tentang kematiannya beberapa waktu lalu; sebelum aku mencapai puncak ini. Sendirian. Maksudku, tanpa dia. “Hei… Jangan nangis. Sini.” Dia berdiri tepat di samping. Lengannya dengan santai merangkul pundakku. Dia mulai mengusap-usap rambutku. Usapannya membuat rambutku berantakan. Tapi aku mulai merasa nyaman dan hilang ketegangan. Tentu saja tidak begitu dengan rasa sedih. Itu tidak hilang. Tidak akan pernah hilang, sepertinya.
“Kepergiannya buat saya dan teman-teman yang lain juga sulit diterima. Saya juga bisa ngerti…” Aku tidak mau menatapnya. Malu. Aku jarang menangis di hadapan teman-teman. “Saya kira waktu kalian untuk bersama masih panjang. Ternyata Tuhan terlalu sayang dia, Ra. Tapi saya yakin dia tahu kamu sudah sampai sini. Dia tahu kamu orang pertama yang paling bersemangat dan yang pertama mencapai puncak. Dia pasti ikut bangga…” Lanjut temanku itu. Bersamaan dengan rangkulan tangannya yang melonggar padaku, isakanku pun semakin pelan. Aku berulangkali menarik nafas dan memaksakan diri untuk tersenyum. Aku memandang berkeliling. Teman-teman yang lain melirik ke arahku. Mungkin mereka kira aku terlalu berlebihan, baru mencapai puncak 2525 meter di atas permukaan laut saja, sudah terharu. Menangis sesenggukan bahkan.
Aku menatap mata temanku dengan penuh keyakinan, “Aku tahu. Dia memang tahu kok. Dia ada di sini. Kami berciuman tadi. Sekitar lima ratus meter menuju puncak…” Meski sudah terlihat berusaha menyembunyikan, kerutan keningnya tetap terlihat olehku. Aku tak menanggapi kerutan itu. Dengan segera aku memalingkan wajah. Tatapanku menerawang menuju pucuk-pucuk pepohonan yang masih berwarna kuning keemasan. Kali ini, matahari terlihat sudah mulai beranjak dewasa.
Nalar, 15 Januari 2012