Catatan-catatan dari November 2019 hingga Juni 2020

IMG_20191213_053017

Aku ingin jadi kelebihan benang dalam saku celanamu.
Jelmaan pilinan tragedi dan seru kebebasan. Kalau tidak dirogoh dalam-dalam
tentu namanya:
lupa.

Simpan baik-baik. Tak usah digunting.

R. de Bebonuk, 9 November 2019

Aku sudah kembali kosong. Padahal hujan baru saja reda di sini. Tiba-tiba saja, ketidakhadirannya menjadi satu hal penting. Padahal sejak menginjak tanah ini, aku dan panas sudah begitu akrab, Angin dan hawa panas kini menggetarkan bulu-bulu di lubang telinga. Aku mendengar air hujan jatuh lagi di rumput serta pohon, tapi ternyata datangnya dari dalam dada saja. Aku cemas dan ketakutan jika
ia
tak akan
datang
lagi.

Warung babik guling, hujan-hujan, 18 Desember 2019

Kepada suhu 17°C yang kauselundupkan ke dalam selimut – sebab di luar sana, debu dalam angin dan keringar lengket di kulit,

sampaikan cerita tentang monumen-monumen berlumut dan reruntuhan rumah,

sesuatu yang kausebut
nyaman dan sakit,
akrab serta rindu,
puas juga lapar.

Kepada hal-hal penting yang kauselundupkan ke dalam aku, sampaikan cerita tentang uap nasi di dinding kantung plastik,

Sesuatu yang mirip kita:
berharap turut hangat dan manis meski
berakhir dingin di dasar.

8 Januari 2020

Aku ingin jadi peluit
milik wasit dalam diri seorang perempuan
yang menangis.

Menemani hingga pertandingan usai.

27 Januari 2020

Saya tidak tahu di mana harus saya letakkan kenangan tentangmu, tentang kita. Di dalam kaleng Khong Guan supaya orang-orang membukanya dan merasa tertipu?

25 Februari 2020

:Cici

Kalau saja selalu cukup kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal, hidup hanya perkara melunasi hutang, bukan menunggu piutang.

Selamat jalan, lepas semua sakit.

2 Maret 2020

Aku ingin jadi perahu kertas.

Persegi panjang. Lipat secara adil menjadi dua. Satukan kedua ujungnya di tengah menjadi seperti atap sebuah. Sisi bawah dilipat ke dalam supaya hangat dan tidak berantakan. Buka lebar celahnya seperti membuat payung untuk berteduh. Tekan habis sampai pipih dan berbentuk layang-layang. Lipat secara adil menjadi segitiga. Buka lebar lagi celahnya karena ternyata satu payung belumlah cukup melindungi. Tarik kedua ujung atas layang-layang dan tarik hingga terbentang layar.

Larung segera
sebelum keringat kering.

Dibentuk.

Dilepas.

25 April 2020

aku bermimpi kembali padamu menggunakan jejaring 112 mbps
di tengah pencarian vaksin yang belum kunjung usai
perjalanan yang tak butuh detik apalagi tahun
bahkan istirah pun tentu takkan sempat
kelak itulah kebahagiaan
menghantar pada kita di atas ranjang luas
serta hati yang menyempit
aku masih di sini, menggunakan jejaring 10 mbps
doa pun tiba dengan sangat lambat.

26 April 2020

:anak krakatau

Semesta yang cantik
lahir dari
uap didihan chaos, kejengahan, dan kementakan.

Semesta yang bijak
bisa berlangsung berkat
gaya tekan doa dan kutukan.

Semesta yang manis
tidak hendak menuju apa-apa selain
polaritas-polaritas.

Semesta yang lembut
mengganggu manusia dengan
ketiadaan bentuk dan ramalan yang harus ditafsir.

Semesta ada pada kita, sebagaimana sebaliknya.
Namun ia tak pernah ambil pusing.

26 April 2020

Aku belum bilang “lapar” tapi kamu sudah membawakanku makan. Sekeranjang penuh makanan pokok dan lauk buatanmu. Aku makan hingga merasa lapar lalu sangat kenyang. Kaubiarkan makanan itu di atas meja hingga matahari tinggi dan kamu harus menguap ke udara.

Hingga kamu benar-benar pulang dan tak bisa datang lagi, makanan itu masih di atas meja. Aku lupa mencatat resepnya, tetapi lidahku senantiasa mengenang rasanya. Aku lupa merapikan ingatan yang berserak tentangmu, tetapi aku selalu siap mengulangnya kembali.

26 Juni 2020

Pertemuan Kudus

Ia bertanya padaku alasan kota-kota besar beranjak jadi hutan belantara. Harus ada yang paling kuat: pedang atau napas insan.

Ia heran melihat kacamata kuda dan manusia gelap mata. Darah bisa tumpah demi hidup di nirwana: sungai susu, bidadari cantik, dan lautan kenikmatan.

 

Seru kebencian pernah didengarnya dari surau, melanglangbuana ke lembah-lembah. Untuknya, harus ada obrolan-obrolan manis supaya tak lelah, lari ke negeri jauh.

Kucamkan dalam senyap: seliar-liarnya badai, awannya tak sekelam yang menaungi kita hari ini. Hampir saja kulupa bahwa linimasa sudah menembus era pencerahan.

 

Ia bertanya padaku tentang musabab angkuhnya manusia—setinggi beton-beton yang dibangunnya. Harus ada yang paling benar di antara yang hidup: ilmu apa, agama mana, atau sekadar permainan-permainan siapa.

Ada cekung kawah di sekitar matanya ketika bercerita tentang sawah-sawah lenyap ditelan debu. Manusia jatuh cinta pada tanahnya, sementara di bentang ribuan kilometer, ia menghadapi kehilangan demi kehilangan.

 

Sungguh ingin aku dengannya ke pelosok pulau; ke tempat-tempat jarum arloji berdetak lamban. Sayang, kami tak bisa sama-sama terbang.

 

Masih panjang pertemuan aku dan ia di sekitar palem merah. Ia—seekor Lonchura maja dewasa—bercuit tentang perasaannya yang lebih luwes dari bulu-bulu hijau kemerahan di sayapnya.

 

Cileunyi, Februari 2018

Puisi ini adalah bagian dari antologi puisi Senyuman Lembah Ijen yang dibuat dalam rangka Kemah Sastra Nasional-Festival Sastra Banyuwangi 2018. Gambar diperoleh dari Flickr.

Tujuh Desember

Cicero wafat sebelum tiba masehi. Royal Opera House di London jadi rumah narasi-narasi kecil. Pearl Harbor meledak parah sebelum Amerika masuk ke pusara yuda. Ibu merindu Sondang—yang takkan lagi pulang ke rumah—bahkan sebelum malam tanak.

Manusia berkaca pada pemberian-pemberian yang diambil lagi untuk dicukupkan patah hatinya. Manusia menerima mimpi-mimpi bahagia yang dihentikan sebelum pagi.

Tujuh Desember pemberian magis. Aku menerimamu dalam serial mimpi yang dihentikan sebelum tanggal dua puluh lima; sebelum kelahiran Isa.

Di tujuh Desember kelak, aku akan berdoa dalam-dalam untuk setiap kematian dan kelahiran; pengusiran dan panggilan—sebelum dicukupkan patah hatiku.

Oktober 2017

Featured image: “Mother and Child” by Vicente Manansala (Singapore Art Museum)