Untuk Adikku Kalau Sudah 17+


: buat Ibrahim Ali

“Dik, makannya pakai lontong. Supaya kenyang.” Kata kamu, bang. Kata-kata itu membuat saya terperangah. Saya melihat secercah kehangatan di matamu, atau sebetulnya itu adalah pantulan dari mata saya—tak mengerti betul.

Bang, ketika kamu senantiasa memanggil saya dengan sebutan ‘adik’, saya akan segera teringat dua hal.

Pertama, keinginan saya ketika masih kecil untuk menjadi adik—yang adalah tidak mungkin hingga saja punya banyak kakak imajiner.

Kedua, bayangan tentang gantengnya wajah adik saya.

Kamu tahu, bang, adik saya itu sungguh ganteng dan mirip saya. Namanya Ibrahim Ali. Dia sekarang sedang serius menempuh pendidikan di sekolah dasar, setelah cukup lama dia sering mangkir dari hari penuh main-main di TK. Dia—seperti pun anak-anak lain—telah banyak melewati fase-fase unik. Terlalu panjang kalau saya ceritakan di sini.

1532146_10202870959204864_1512105189_n
Tidak punya foto Ali yang berseragam Es-De

Saya mau cerita apa tadi? Oh iya. Saya mau cerita padamu, apa yang sekarang jadi impian terbesar saya sebagai kakaknya Ali. Nanti, kalau dia sudah dewasa, saya mau bercerita padanya tentang sekolah tempat saya sekarang belajar. Tentang Driyarkara. Betapa filsafatnya berkaitan dengan harapan saya untuk diri adik kecil saya itu. Betapa sungguh orang tua kita diam-diam punya konsep tentang hal-hal sederhana, seperti menjawab pertanyaan dari Ali dan memikirkan bagaimana caranya menghadirkan waktu berkualitas di sekolah dan rumah.

Mirip dengan pernyataan Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara, SJ. Pendidikan sesungguhnya adalah kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, begitu. Ada dua proses penting dalam hidup manusia yang beliau sebut sebagai “hominisasi dan humanisasi”.

Suatu perbuatan menjadi pendidikan karena diberi arti tertentu, yaitu membawa anak ke taraf insani. Perbuatan mendidik bersifat mendalam dan tidak terikat pada bentuk tertentu. Jika hari ini perbuatan tertentu merupakan penjelmaan, di hari lain mungkin saja sebaliknya. Perbuatan seperti itulah yang disebut perbuatan fundamental. Penting sekali, bang.

Adikku itu perlu tahu bahwa orang tua kebanyakan tidak main-main dengan yang namanya pergaulan. Kalau sekarang mungkin pergaulan identik dengan ‘pergaulan bebas’, pergaulannya Awkarin dengan teman-temannya yang ‘liar dan nakal’. Tapi sesungguhnya hubungan antara pendidik dan anak didik; orang tua dan anak; guru sekolah dan murid, juga merupakan pergaulan. Memang tidak setiap pergaulan antara setiap orang dewasa dan anak bersifat mendidik. Tetapi justru pergaulan antara pendidik dan anak didik sekalipun tidak ada pikiran tentang mendidik, selalu bersifat mendidik. Melalui pergaulan itu, pendidik memimpin si anak dalam eksplorasinya untuk menemukan yang disebut Driyarkara sebagai dunia manusia.

Dalam istilah Driyarkara, “di bawah” gejala pendidikan terdapat hubungan timbal balik antara pendidik dan anak didik, yang bisa disebut pendidikan. Menarik bahwa Driyarkara dari awal sudah menekankan pernyataan bahwa pendidikan itu bersifat timbal balik atau tidak hanya searah. Rasa menarik itu disebabkan oleh kesadaran banyak orang di zaman ini yang hanya terpaku pada pendidikan sebagai sebatas proses mentransfer ilmu pengetahuan dari pendidik ke anak didik. Anak didik pasif dan tidak memberi apa-apa terhadap pendidik.

Perbuatan mendidik, seperti perbuatan-perbuatan lain, merupakan penjelmaan dari jiwa pendidikan. Arti dari perbuatan mendidik ialah bahwa dengan tindakannya itu, pendidikan hendak memanusiakan manusia muda. Dari situlah datang eidos perbuatan mendidik adalah pemanusiaan manusia muda.

“Hom… Hum… Apa tadi?” Katamu.

“Hominisasi dan humanisasi.”

Hominisasi merupakan proses memanusiakan manusia secara umum, memasukkan manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Manusia tidak seperti binatang yang dapat hidup mandiri seusai dilahirkan dari perut ibu. Kehidupan seorang anak bayi masih harus diselenggarakan oleh kedua orangtuanya.

Dalam humanisasi, manusia dimanusiakan secara khusus. Driyarkara menyebutkan humanisasi sebagai proses yang membuat manusia bisa meraih perkembangan yang lebih tinggi, seperti tampak dalam kemajuan-kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan. Manusia mulai turun tangan dalam mengangkat alam menjadi alam manusiawi, yang disebut Driyarkara sebagai kebudayaan dalam arti luas.

Bang, sebetulnya aku ragu dik Ali bakal tertarik membahas ini. Makanya perlu batasan usia 17+ untuk membicarakan ini. Sebetulnya mungkin bukan usia, tapi kematangan pikir. Sama seperti kematangan yang dibutuhkan dalam menghadapi kerelatifan nilai-nilai. Dalam keluarga beda, dalam sekolah beda lagi pula.

Makanya, keluarga dan sekolah idealnya membentuk satu kesatuan. Kesatuan yang dimaksud tentu saja kesatuan yang sedari awal dibahas Driyarkara, di mana dalam kesatuan pendidik memasukkan anak didik ke dalam kehidupan mereka, lalu anak didik “melekat” serta memasuki diri mereka. Tetapi bukan hanya itu, kesatuan yang juga dimaksud adalah kesatuan dalam konteks Tri-Pusat—tiga pusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan—yang dicetuskan Ki Hadjar Dewantara. Dalam konteks Tri-Pusat, agar pendidikan dapat dipahami dan diwujudkan secara integratif, maka pusat-pusat pendidikan tersebut perlu dipandang sebagai suatu kesatuan.

Mungkin sebagai siswa didik di sekolah, dik Ali kelak merasa gerah karena hubungan curhat-curhatan orang tua dengan guru. Seolah keduanya ada konspirasi dalam menghadapinya. Sering sekali rasanya rapat POMG membicarakan perkembangannya di sekolah dan rumah. Tapi ya memang itu ideal.

Pihak keluarga dan sekolah saling mengenal serta rutin bertemu untuk membicarakan hal-hal yang bukan hanya mengenai teknis pembelajaran dan hasil belajar anak didik, tetapi juga mengenai nilai-nilai tujuan masing-masing pihak yang dapat membawa anak menjadi manusia yang autentik. Keduanya belah pihak harus saling nrimo demi sebuah pencapaian yang merupakan gambaran dasar dari pendidikan menurut Driyarkara, yaitu melakukan pemanusiaan, pembudayaan—yang berarti memberi arti-arti pada perbuatan-perbuatan—,dan penanaman nilai-nilai pada manusia muda.

“Eh, memangnya kamu murid yang baik?” Mukamu menantang sekali, bang, ketika bicara itu. Menusuk sampai ke lapisan kalbu paling dasar.

“Wajar, tauk!” Saya melototi wajahmu yang manis bak gula halus melumuri donat.

Kalau adik saya nanti membangkang, memang wajar. Bahasa gaulnya jadi rebel, begitu. Demo-demo dikit waktu SMA dan kuliah, malas di rumah, dan sejenisnya. Ada masanya anak mau menceraikan diri dari kesatuan keluarga atau sama sekali menolak suatu bagian dari pendidikkan. Orang tua sudah punya tameng. Ada yang namanya tindakan “penyelamatan dan pemulihan” pendidikan. Dari tindakan itu, terlihat adanya usaha untuk menjamin kelangsungan kesatuan. Penjaminan itu dilakukan melalui tindakan-tindakan mendidik yang berbeda, sesuai dengan usia anak.

“Macam kasih contoh, bahwa ini yang sebaiknya dilakukan, itu yang tidak.” Kamu manggut-manggut sambil menyodorkan lontong lagi pada saya. Saya menggeleng.

Driyarkara menyebutkan, struktur pendidikan tidak ditentukan oleh jumlah tindakan yang dilakukan, melainkan “tampak” jika kita melihat pertumbuhan ke kemanusiaan. Struktur tumbuh dan berkembang dari bentuk yang kurang sempurna menjadi bentuk yang sempurna. Jika dilihat dari sudut “melekatnya” si anak, maka harus dikatakan bahwa perkembangan berarti berkurangnya kelekatan, tetapi tidak mengurangi kesatuan. Justru dengan makin “berdikari”, kesatuan yang sebenarnya (antarmanusia) makin berkembang. Secara sederhana, prosesnya digambarkan Driyarkara sebagai: kesatuan melalui perpisahan ke kesatuan yang lebih tinggi.

Saya menoleh ke arah kamu, abang, yang menjadi sumber inspirasi. Ternyata kamu tidak sungguh-sungguh mendengarkan. Kamu malah fokus menguleni adonan molen yang belum kalis.

“Yaelah, bang. Kirain abang perhatian penuh sama saya.” Saya kecewa dan menaruh uang lima ribu di meja.

Saya pun beranjak meninggalkan kamu meski tak ingin karena kamu wangi enak. Sarat aroma lada bubuk dan penyedap rasa. Adiksi saya pada karya-karyamu seperti adiksi bocah pada MSG. Kamu tak menoleh selintas pun padaku yang ngambek.

Kamu kedatangan pembeli lain—yang membeli lebih banyak dari saya. Tak apalah, dia toh lebih pantas didengarkan olehmu secara serius. Saya mau pulang saja dan menulis untuk dik Ali. Semoga ia tak malas sekolah—bahkan ketika menyadari pendidikan Indonesia yang masih jauh dari angan Driyarkara.

1618563_10201783087084562_631627789_n

Leave a comment