Untuk Kalian yang Sedang Patah Hati


Dulu, waktu teman dekat saya sedang jatuh cinta pada seorang perempuan, dia bercerita pada saya bahwa dia merasa perempuan itu sedang membalas cintanya. Teman saya merasa perempuan itu banyak memilih untuk menghabiskan waktu bersamanya. Itu membuat dia berbunga-bunga.

Di sisi lain, diam-diam teman saya merasa ragu. Sempat terlintas dalam benaknya bahwa segala waktu—berisi suka cita, sedih, dan segala masa reflektif—bersama perempuan itu adalah kebetulan belaka. Teman saya menduga-duga, “Ah, jangan-jangan perempuan itu memperlakukan orang lain sama seperti saya.” Kira-kira seperti itu. Berkat kecurigaannya, dia jadi pesimis. Dia sedih karena mungkin tak ada yang istimewa dari hubungan mereka.

Teman saya sedih karena ketika dia jatuh cinta, hal yang paling dia inginkan adalah berdua saja dengan perempuan itu. Tak boleh ada yang sama dengan dirinya. Dia menginginkan waktu yang eksklusif. Seluruh percakapan yang terjadi antara mereka hanya boleh terjadi antara mereka, di waktu yang perempuan itu sengaja sisihkan untuk cinta mereka.

Baru-baru ini pun saya dapat cerita hampir sama. Di tengah masa yang dianggapnya sebagai pendekatan, teman saya ‘ditinggal’ lelaki pujaannya. Teman saya yang satu itu kecewa karena sempat menganggap bahwa gunungan canda dan perhatian yang diberikan sang lelaki ternyata bisa menguap begitu saja. Uapnya pun berubah jadi hujan di mata teman saya. Dia patah hati oleh karena lelaki yang sungguh cepat lalunya. Waktu saya tanya apa sesungguhnya yang teman saya inginkan dari lelaki itu, jawabannya lagi-lagi tentang keistimewaan. Teman saya ingin diistimewakan oleh seorang yang dia cintai.

Only Love Can Break Your Heart – Neil Young

Mengalami dua kasus itu, saya jadi berpikir, kenapa terkait cinta, manusia bisa menginginkan yang lain sebagai benda? Teman saya menginginkan laki-laki itu sama seperti ia menginginkan pakaian dalamnya tak digunakan orang lain. Tanpa sadar, ia telah mengobjekkan lelaki itu. Hal yang teman saya mau adalah mendaku manusia lain sebagai miliknya.

Ya, mungkin saya pun sempat mengalami masa seperti ini. Layaknya lagu-lagu cinta negeri ini yang memang mengandung banyak cinta dan hasrat untuk memiliki. “Kau milikku milikmu kita satukan tuju, bersama arungi derasnya waktu” Begitu kata Tulus. Dengan begitu, di tengah hasrat yang tak terbendung untuk memiliki, apa sebetulnya yang membedakan manusia dengan benda-benda? Apa yang membedakan rasa rindu kita, umat manusia, pada yang terkasih dengan rasa ingin memiliki ponsel baru—membuatnya jadi milik kita seorang? Mungkinkah kita sedang mengalami relasi seperti yang Martin Buber sebut sebagai relasi Aku-Benda? Jika iya, gawat. Betapa cinta dapat mengubah kereta kencana Cinderella menjadi labu—tak hanya sebaliknya.

Sungguh pun Martin Buber terberkati ketika menulis Ich und Du pada tahun 1922. Pengalamannya menghadapi perceraian orang tuanya merupakan benih kerinduan dan dambaan Buber akan kehadiran sesamanya, tentu saja persis ia merasakan patah hati yang sama dengan teman-teman saya barusan.

Fokus pemikiran pesan utama filsafat Martin Buber adalah struktur dialogal dan antarpersonal manusia. Ia menolak hubungan Aku-Benda (Ich-Es atau Ich-It). Ia menegaskan corak hubungan antar personal Ich-Du, I-Thou, atau Aku-Anda. Keduanya sama-sama ciri pengalaman (Erfah-rung) dan perjumpaan (Begegnung). Keduanya adalah ciri pengetahuan dan dialog[1].

Hubungan Aku-Anda (I-Thou)

Hubungan Aku-Anda bercirikan kehadiran langsung, tanpa konsep maupun fantasi. Dengan kata lain, tidak ada perantara dalam pertemuan kedua subyek. Keduanya hadir dalam keseluruhan dan keutuhan dirinya. Anda bertemu dengan Aku dan Aku hadir di hadapan Anda. Pertemuan keduanya bukan karena usaha yang dilakukan keduanya. Hubungan ini, menurut Buber, adalah hubungan yang sejati.[2]

Hal yang paling menentukan dalam hubungan Aku-Anda adalah bahwa Anda diterima, diakui, diperlakukan sebagai pribadi yang unik dan tidak tergantikan, sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, Anda diterima dan diakui bukan sebagai Aku yang lain. Dia, sebaliknya diberikan kesempatan dan ruang gerak untuk menjadi dirinya sendiri.[3]

Hubungan antara kedua subyek timbul secara timbal-balik dan dialogis, serta direalisasikan secara terus menerus. Aku-Anda saling menerima, mengakui, dan memperteguh. Keduanya saling menyapa dengan nama masing-masing.[4] Hubungan ini dapat juga diwujudkan dengan cara menghadirkan atau membayangkan tentang orang lain dalam realitas yang sebenarnya, walaupun ia tidak hadir secara fisik. Bagi Buber, tidak pernah ada hubungan penguasaan Aku terhadap Anda atau Anda terhadap Aku.[5]

Hubungan Aku-Benda (I-It)

Hubungan Ich-Es atau I-It adalah hubungan antara tuan-budak (dalam terminologi Hegel).[6] Hubungan itu didominasi oleh kehendak menguasai satu sama lain. Anda bagi Aku, atau sebaliknya, tidak lagi sesama manusia, melainkan suatu benda: objek yang dapat digunakan atau yang tidak boleh mengganggu kesenangan.[7] Dalam hubungan ini terjadi pengobyekan.

Dalam Aku-benda, Aku berelasi dengan engkau hanya demi kesenangan, kepuasan, dan keuntungan Aku, demikian pula sebaliknya.[8] Menurut Buber, hubungan Aku-benda tidak berawal dari suatu perjumpaan melainkan pengalaman. Subyek mengalami, mengenal, dan menguasai subyek lainnya sehingga hubungan ini sangat fungsional dan pragmatis, bukan hubungan manusiawi yang sebenarnya.

Tentu saja, hubungan Aku-benda berbeda dengan Aku-Anda. Anda berbeda dari benda, tidak pernah dikebawahkan padaku atau tergantung dariku dan dengan sendirinya tidak berada dalam kerangka hubungan tuan-budak. Menurut Buber, realitas hubungan antar manusia itu tidak dihapuskan. Manusia memang memiliki kesamaan dengan segala yang berada di dunia ini, yakni dapat dijadikan objek pengamatan, namun, keistimewaan Aku sebagai manusia adalah kegiatan dari adaku yang merintangi objektivikasi terhadap diriku.[9]

Cinta

Kemudian, di mana cinta—yang menyihir kereta kencana itu?

Siapa pun tentu pernah merasa patah hatinya. Tak terkecuali saya. Betapa menyenangkan jatuh cinta, namun tak lama kemudian, ketika sadar bahwa kita tak istimewa, perasaan senang itu bisa kandas oleh keterpurukan yang berlarut-larut. Kita dibunuh kesepian—dan yang lebih parah lagi—dan pembendaan sesama manusia.

Menurut Buber, dalam hubungan ideal, subjek lain dalam suatu hubungan harus dilihat sebagai pribadi yang bereksistensi dan pribadi yang memiliki keunikan. Tentu mudah untuk ini. Karena hal ini pulalah kita bisa jatuh cinta. Setelah mencintai, diam-diam kita merana karena terlanjur menginginkan seluruh hal yang seorang manusia miliki, untuk kita seorang saja.

Memang, mencintai itu mengerikan. Untuk tidak memiliki selagi mencintai, sekilas tentu lebih mengerikan. Namun tentu tak relalah kita menyakiti  kepenuhan berada sebagai manusia dengan memaksakan diri kepada orang lain. Kalian—yang sedang patah hati—mesti belajar. Belajar tentang kebebasan selagi mencintai dengan tulus pada yang lain sebagai pribadi unik. Lagipula, ‘memiliki’ terdengar seperti kata yang hanya tepat untuk pakaian dalam. Milikku. Bukan milikmu. Kau tidak boleh pakai.

[1] Meskipun dialog adalah kenyataan yang sama tuanya dengan umur manusia, tetapi kenyataan itu sering lepas dari penggambaran falsafi.

[2] C.A, Peter. “Hubungan Antar Pribadi…” dalam Mawas Diri Januari 1986

[3] Lanur, Alex. “”Yang Lain”nya Martin Buber…” dalam Majalah Driyarkara 020

[4] Menurut Buber, sapaan dengan nama berarti menerima dan mengakui kedirian masing-masing pribadi.

[5] C.A, Peter. “Hubungan Antar Pribadi…” dalam Mawas Diri Januari 1986

[6] Sastrapratedja, M. 2010. Filsafat Manusia I. Jakarta:Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila hlm. 62

[7] Bertens, K. 1983. Filsafat Barat dalam Abad XX: Inggris-Jerman. Jakarta: GPU hlm. 164

[8] C.A, Peter. “Hubungan Antar Pribadi…” dalam Mawas Diri Januari 1986

[9] Jabung, Frans. “Dasar-Dasar Hubungan…” dalam Mawas Diri Desember 1990

[10] C.A, Peter. “Hubungan Antar Pribadi…” dalam Mawas Diri Januari 1986

Featured image diperoleh dari pinterest.com

One thought on “Untuk Kalian yang Sedang Patah Hati

Leave a comment