Adat


Kita kembali menyusun rencana. Lebih matang dari biasanya, karena memang dunia menyodorkan banyak celah. Seperti biasa, perempuan lebih banyak geming dan berkaca. Perempuan berkaca pada ide-ide yang mapan, sementara lainnya sibuk bergerak menghadapi keresahan.

Adat banyak menuntut. Padahal manusia, yang adalah perempuan, dan yang juga adalah laki-laki, membangunnya. Arwah-arwah luhur menjadi tujuan kepenuhan. Manusia memuja. Manusia mengkondisikan alam luas. Manusia mengolah. Manusia mengorek kehidupan itu dengan kuku-kukunya sendiri, bertumpu pada lutut yang makin biru. Tapi nyatanya manusia dibuat bisu.

Manusia diseruput mulut adat. Adat mengunyah manusia, menjadikannya bubur.

Manusia membuat adat menjadi riil, lalu adat berterima kasih dengan membuat manusia menjadi abstrak. Ide-ide leluhur dibendakan dengan patung-patung kayu dan batu. Begitu hidup. Sesudahnya, manusia ditiup oleh adat menuju awang-awang. Manusia riil menjelma ide-ide. Sebuah ironi kemarin sore.

Perempuan banyak disembunyikan. Jadi bangkai yang tak mesti diusik sebelum diendus. Diendus pun, sesudahnya disulut, kemudian lebur jadi abu. Manusia, yang di antaranya adalah perempuan, nyelip di sela-sela lubang gigi Sang Adat.

Leave a comment